Lelaki tidak Bercerita, Katanya
Tulisan kali ini sebenarnya terinspirasi dari sebuah postingan instagram yang saya repost ke story. Ya, judul dan isi tulisan yang tidak jauh berbeda. Hanya saja, di blog ini untuk pertama kalinya saya akan bercerita tentang "Sekolah"
Saat ini saya menjadi seorang guru honorer dengan masa pengabdian yang baru seumur jagung. Jadi, tentunya masih butuh jauh lebih banyak belajar dan perlu mencoba berbagai pengalaman baru untuk bisa menjadi guru yang profesional. So, ini adalah tulisan pertama saya, bukan untuk mengajari siapapun tetapi saya anggap ini ruang belajar bagi diri sendiri dan jika ada manfaat yang bisa diambil, maka saya akan sangat senang. Pun saya akan sangat terbuka terhadap kritik dan masukan karena itu yang akan membangun saya menjadi lebih baik lagi.
Oke, langsung saja.
Jadi, beberapa pekan yang lalu saya iseng membuat sebuah sesi kecil di awal pembelajaran dengan judul "10 menit bercerita".
Seperti namanya, sesi ini kami buat sesederhana mungkin dengan hanya "full bercerita". Siswa bebas bercerita apa saja, baik tentang kehidupannya (cerita sedih, lucu, menyeramkan, receh, atau betapa membosankannya hari-hari mereka) ataupun cerita fiksi yang ada di imajinasi. Mereka juga bisa memilih akan bercerita secara lisan (secara bergantian) maupun tulisan di kertas masing-masing (secara bersamaan).
syarat utama sesi ini hanya "mereka harus menjadi diri sendiri"
sebenarnya keisengan ini bermula dari kebosanan saya bercerita dan langsung belajar setelah mengabsen. Lagi pula, siapa juga yang sebetah itu berlama-lama mendengar penjelasan yang monoton kaan?
Apalagi kalau harus masuk di jam terakhir dan masuk kelas langsung belajar. Di jam makan dan tidur siang, pikiran sudah tidak fokus.
dan rasanya setiap orang pasti punya sisi butuh didengarkan dan butuh bercerita tapi gatau mau cerita kemana dan akhirnya semua ditelan bulat-bulat sendiri. Saya percaya, sebaik apapun seseorang menjadi pendengar, saya yakin semua pasti butuh bercerita. hanya saja setiap orang punya cara bercerita tersendiri. Tidak selalu dengan orang lain, tetapi bisa juga dengan dirinya sendiri entah dengan menulis, menggambar, ataupun membuat karya lainnya yang terinspirasi dari keresahan di sekitarnya.
tak jarang beberapa anak bertanya, "Bu, kenapa kami diminta bercerita?". Saya berusaha menjawab dengan seringan mungkin, "Biar Kita bisa sama-sama saling mendengarkan."
2 pekan pertama kami mencoba bercerita lisan dengan topik "Benda kesayangan". jadi siswa yang ingin bercerita membawa benda kesayangannya sambil bercerita kepada teman-teman yang lain. daan... pada bagian ini tidak jarang menjadi pemecah ketegangan. bahkan di beberapa kelas ada momen dimana kami semua tertawa bersama sampai terpingkal-pingkal.
jika hari itu tidak ada yang membawa benda kesayangan atau tidak ingin bercerita di depan, maka semua wajib menulis ceritanya masing-masing dalam secarik kertas selama 10-15 menit.
lagi, ekspektasi awal saya
"Yang paling antusias dan banyak cerita, pasti siswa perempuan."
"Hanya siswa perempuan yang akan sangat banyak menulis"
Setelah menyimak cerita dan membaca tulisan-tulisan yang ada, ternyata TIDAK JUGA, hehehe
Yang laki-laki juga bercerita banyak. Yang perempuan ada juga yang menulis singkat dan to the point.
Jadi, apakah lelaki bercerita?
Sejauh ini saya berkesimpulan, "Ya".
Hanya saja mereka tahu siapa yang harus dipercaya dan kapan waktunya bercerita. Memang tidak bawel seperti perempuan, mereka bercerita dengan caranya sendiri.
TERNYATA LAKI-LAKI itu bercerita dan layak bercerita. Bercerita bukan tanda kelemahan, tetapi tanda bahwa laki-laki juga manusia yang punya perasaan sebagaimana perempuan. Laki-laki tidak harus selalu menelan bulat-bulat betapa berat hidup yang dijalaninya dan seberapa tinggi beban yang harus Ia topang sendirian. Sesekali Ia butuh berbagi. dan didengar.
walaupun ketika awal saya mengenalkan sesi ini kepada siswa, di setiap kelas ada saja yang nyeletuk,"Laki-laki tidak bercerita, Bu". wkwkwk
Jika anda beranggapan, "Ah, palingan cuma tulis cerita lucu-lucuan.'"
Jadi, sesi ini memang tujuannya untuk seru-seruan sebelum belajar karena pembahasan paling ringan dan menarik bagi setiap orang ya tentang dirinya sendiri.
Cerita lucu ataupun yang fiksi bersambung ada. Tapi yang sangat serius yang rasanya itu hal yang tidak bisa diceritakan ke siapa-siapa juga ada. Karena setiap orang pasti punya pengalaman hidup yang beragam dan yang ingin diceritakan tentu berbeda-beda.
bahkan di awal ada juga yang meminta saya untuk bercerita duluan tentang benda kesayangan saya. Akhirnya saya menjadi orang pertama yang bercerita di kelas itu, hahaha.
yang jelas, peran guru untuk merahasiakan isi tulisannya, baik dari teman-temannya ataupun rekan sesama guru sangat penting. kecuali siswa yang bersangkutan membolehkan dan ingin menceritakannya sendiri kepada orang lain.
Akhirnya, setelah mereka mengumpulkan ceritanya pembelajaran bisa dimulai dengan pikiran yang lebih rileks.
Sejak sesi 10 menit bercerita ini berjalan, ada banyak pandangan berbeda yang saya temukan dari tiap siswa. ini juga membuat saya pribadi merasa lebih dekat dengan mereka dan bisa lebih memahami keadaannya tanpa memberikan label "nakal", "bodoh", dsb.
Sejauh ini bisa saya ambil kesimpulan bahwa
"SETIAP ANAK ITU UNIK DAN BERBAKAT".
Di akhir semester, tepatnya pertemuan terakhir, saya mengadakan sesi evaluasi dengan mengajukan pertanyaan yang dijawab apa adanya oleh siswa.
Jujur, kali ini cukup terenyuh.
karena ada siswa laki-laki yang bilang,
"Semenjak ada sesi 10 menit bercerita, pelajaran PAI jadi mata pelajaran favorit saya" :)
Dan inilah sesi bercerita singkat saya. ^_^
Akhirnya, setelah sekian lama notifikasi postingan terbaru ini datang juga. Saya sepakat dengan kalimat: "Rasanya setiap orang pasti punya sisi butuh didengarkan dan butuh bercerita tapi gatau mau cerita kemana dan akhirnya semua ditelan bulat-bulat sendiri" sebagai adik yang punya dua kakak laki-laki dan juga sebagai kakak yang punya dua adik laki-laki.
BalasHapusSaya pribadi sangat tidak sepakat dengan stereotipe di masyarakat yang mengatakan bahwa: "Laki-laki itu nggak boleh cengeng, nggak boleh nangis, harus kuat". Padahal lelaki juga manusia. Lelaki juga punya jiwa, perasaan, emosi, empati. Kenapa kita lupa itu? Jadi, lelaki berhak bercerita, menangis, marah dan lain-lain.