Kemari, Nak. Sini, Aku Peluk...
Di sudut ruangan yang kecil, gelap, dan lembab. Ya. Hanya kau seorang di sana. Meringis. Menggigil. Tak ingin menoleh.
Saat Aku ingin menyentuhmu. Kau ketakutan. Tak berani disentuh. Kau tak percaya Aku datang ingin membawa rasa aman, nyaman.
(Menghela Napas)
(Berlutut, sambil membelai lembut rambutnya yang terurai), Ku katakan, "Tenang, Aku orang baik. Kau juga anak yang baik, manis, dan berhati tulus. Bagaimana mungkin Aku datang untuk menyakitimu?"
Kau pun menoleh.
Sejenak Aku terdiam. Baru sadar. Ternyata ini adalah kali kedua aku menemuimu. Kau bukanlah wajah asing yang baru ku kenal. Matamu menatap lembut penuh harap. Kau tak bisa sembunyi lagi.
Tanpa sadar pipiku telah basah. Airmata jatuh tanpa aba-aba, memicu iba dari hatiku yang mengeras. Entah kenapa.
"Kemari, Nak."
"Sini. Aku peluk yah...."
Kulihat dirimu yang masih penuh lebam. Sehingga ditekan sedikit saja, sakitnya masih tak tertahankan.
"Yang Sabar ya, Nak... Aku tau hidupmu terkadang nelangsa. Aku amat paham keadaanmu. Ini tak mudah. Sungguh. Namun Aku percaya, kau anak yang kuat, tabah, tidak akan menyerah semudah itu. Menangislah sekarang, jika kau butuh pundak untuk bercerita dan mengungkapkan segala rasa yang ada. Menangislah jika kau ingin.", hanya itu kalimat dukungan yang mampu ku lontarkan.
(Kupeluk dia semakin erat, sembari mengusap punggung dan kepala)
Benar dugaanku. Ia menangis. Sesegukan. Tanpa membalas perkataanku.
Kataku dalam hati, "Menangislah. Mungkin bagi sebagian orang menangis itu tanda kelemahan. Tapi tidak bagimu. Menangis, menjadi awal untuk membuat kekuatan baru. Masalahmu mungkin tak akan langsung selesai dengan menangis, tapi setidaknya kekuatan untuk bertahan dan berjuang jadi terkumpul."
Mungkin masa kecilmu senyap, Nak. Tak banyak pelukan. Tak banyak bisikan lembut yang mendamaikan dan membesarkan hatimu. Bahkan mungkin kau sudah mencoba bicara, juga tutup telinga.
Ah, tapi percuma. Suara dari luar itu tetap saja tembus. Suara dari hatimu yang tlah mencoba berteriak, tak kunjung sampai.
Dan suara suara lain itu tetap saja terdengar walau hanya sisa pantulan.
Kau anak kecil polos yang harus menelan pil pahit kehidupan. Bagaimana mungkin Aku tega membiarkanmu seorang diri?!
Aku jadi ingat. Jari jemarimu lentik. Menari indah. Terus menggores di atas setiap lembaran kertas itu. Hanya itu. Hanya dirimu. dan sajadahmu. Senyap.
Namun kau telah cukup tumbuh dibanding ketika awal Aku menemuimu. Kau ternyata sudah cukup belajar.
Belajar untuk memutus mata rantai yang selama ini menjeratmu. Juga tak lagi berteriak. Walau Aku pun tak bisa mencegah diammu.
"Tenang, Nak."
"Kemari. Kau akan aman sekarang."
"Kita jelajahi kembali dunia yang luas ini. Allah ciptakan semuanya agar kita belajar."
"Kembalilah. Tertawalah dengan riang. Biarkan Aku kembali mengisi hari-harimu yang sempat terhenti."
"Lepaskan. Bebaskanlah..."
"Sini. Aku Peluk..."
Uuuuu🥺 Terlukanya psikis emang ngeriii..
BalasHapus