TAK PERLU RAYAKAN IWD, BENCANA KEBEBASAN SEKSUAL MENGINTAI IBU PERTIWI LEWAT RUU P-KS Oleh Mislaili, Sri Partuti Rahmayanti, Suci Yulis Hamdayani
8 Maret ditetapkan sebagai International Women Day (IWD) yang dilatarbelakangi oleh penindasan kaum buruh perempuan, hingga IWD saat ini akhirnya mengisyaratkan suara kesetaraan gender. Lalu apa hubungannya dengan RUU P-KS? Simak ulasan berikut hingga selesai.
Perempuan Tidak Butuh Feminis
Benarkah ada gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan?
Masyarakat Indonesia sedang ramai memperbincangkan dan
mulai mendukung serta terlibat dalam sebuah gerakan yang digadang-gadang
sebagai pembela hak-hak perempuan. Yup, apalagi kalau bukan gerakan feminis!
Tapi coba kita lihat lagi, apakah feminis benar-benar cocok
untuk Indonesia yang didominasi kaum muslim.
Sejak abad ke-17, wanita di Barat dianggap makhluk hina dan
makhluk kelas dua. Tak heran, jika yang menjadi korban penindasan saat itu
adalah perempuan dan pelakunya adalah laki-laki dari pemuka agama (Katolik).
Kemudian muncullah kelompok pemberontak dari kalangan perempuan yang
tertindas.
Pada abad ke-19 ditemukanlah Istilah feminisme, paham yang
memperjuangkan hak perempuan dengan gerakan yang disebut feminis.
Seiring berjalannya waktu, perjuangan feminis semakin
melebar. Sejak awal hanya menuntut persamaan hak atas perempuan, kemudian
merembet menjadi tuntutan "kebebasan tubuh" yang hari ini mereka
sebut dengan MY BODY IS MINE (tubuhku adalah milikku). Hingga akhirnya ikut
memperjuangkan kesetaraan gender (termasuk LGBTQ+++). Ini bisa kita temui dalam
perayaan International Women Day (IWD) yang menyuarakan kesetaraan
gender.
Feminis adalah konsep yang lahir dari Barat, bukan anak
kandung Indonesia. Maka tidak akan pernah bisa diterapkan apalagi cocok dengan
keadaan masyarakat di Indonesia. Selain itu tentunya, konsep ini sudah jauh
melenceng dari fitrah manusia. Karena sejatinya sebagai makhluk ber-Tuhan,
segala yang ada di langit dan bumi bukanlah milik kita, termasuk diri kita.
Semua adalah milik Allah swt.
Jadi Allah telah mengatur kehidupan manusia dengan begitu
kompleks termasuk dari cara berpakaian, hak, kewajiban, serta tugas-tugas kita
di dunia ini.
Kita tidak butuh konsep dan gerakan feminis. "Karena
Tuhan lebih tau apa yang terbaik bagi hambaNya. Pikiran makhluk terbatas,
sedangkan Tuhan tanpa batas".
Hidup Bahagia tanpa Kesetaraan Gender
Gender merupakan satu diantara sejumlah wacana yang bisa
disebut kontemporer yang cukup menyita perhatian banyak dari kalangan para
remaja, kalangan aktivis pergerakan, akademisi dan mahasiswa hingga para
agamawan
Gender tidak serta merta membahas tentang jenis kelamin
biologis, tetapi jenis kelamin sosial. Contoh simpelnya, jika anda seorang
laki-laki tetapi nyaman memakai pakaian perempuan juga bisa dikatakan gender.
Itu hak anda, terus bagaimana jika hal tersebut terjadi? apakah di Indonesia di
bolehkan? tentu saja tidak!
Berbicara tentang kesetaraan, Islam sejak dulu tidak pernah
membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, islam telah menakarkan takaran
tersebut sesuai dengan porsi masing-masing, semuanya punya kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Oleh sebab itu mereka ada untuk saling melengkapi
bukan saling menyaingi
Islam tidak pernah menyuruh semuanya untuk setara, tapi
serasi. Sebagai seorang muslim seharusnya kita menolak tegas yang namanya
kesetaraan gender, kenapa? karna tidak semua harus setara, tetapi antara
laki-laki dan perempuan punya porsinya masing-masing. punya tugas
masing-masing, punya peran masing-masing yang tak semuanya bisa di kerjakan
oleh perempuan atau laki-laki itu saja. Saling melengkapi adalah jalan
terbaiknya.
Dalam kepemimpinan rumah tangga misalnya, masa iya kepala
keluarganya dua? Dalam sholat jum'at, masa iya imamnya perempuan? Semua itu
sudah diatur olehNya, manusia tinggal menjalankan sesuai syariat sehingga
keindahan nilai-nilai agama akan terlihat. Percayalah, kita bahagia tanpa
kesetaraan gender.
Bencana Kebebasan Seksual Lewat RUU P-KS
RUU P-KS masih menuai penolakan dimana-mana. Orang-orang
yang menyadari bahwa RUU P-KS bukan solusi akan terus menggaungkan penolakan
meski telah melanggeng ke prolegnas. Entah kenapa, berulang kali rapat dengar,
alasan penolakan dan pasal-pasal bermasalah sudah disampaikan tapi tidak ada
perubahan signifikan pada RUU P-KS.
RUU P-KS ditolak bukanlah tanpa alasan. Wajah-wajah yang
menolak RUU P-KS bukan pula wajah yang tidak memiliki blas kasihan pada korban
kejahatan seksual.
Nama RUU ini memang sungguh manis : Penghapusan Kekerasan
Seksual. Judul ini menarik mata dan simpati banyak orang untuk turut mendukung.
Kata -penghapusan kekerasan seksual- sungguh telah menyihir ribuan masyarakat
Indonesia mentah-mentah. Ekspektasi mereka bahwa di negeri ini takkan pernah
ada lagi kekerasan seksual karena telah ada UU yang menghapusnya nanti.
Sayang sekali. Bencana maksiat mengintai negeri kita.
Setelah dilakukan kajian berkali-kali berulang kali terhadap RUU ini, ada racun
mematikan yang ingin membunuh moral bangsa Indonesia yang lekat dengan adat
ketimuran. Sebuah rencana busuk disiapkan untuk menggerus habis nilai-nilai
agama.
Berangkat dari definisi Kekerasan Seksual pada RUU P-KS,
pasal 1.
“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan,
menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual
seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan
kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan
dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender,
yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik,
psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.
Terdapat frasa 'perbuatan lainnya dan hasrat seksual'
yang multitafsir. Apakah seorang Ibu yang 'menasihati' (perbuatan lainnya)
anaknya tidak boleh pacaran sesama jenis/LGBT (hasrat seksual) tetapi anak
tersebut merasa sakit hati, dapat masuk dalam kategori kekerasan seksual? LGBT
tidak asing lagi ditelinga kita. Sebuah perilaku yang menyalahi aturan agama di
Indonesia, menentang kodrat manusia yang diciptakan berpasangan yaitu laki-laki
dengan perempuan. LGBT berpotensi dibolehkan bila RUU P-KS disahkan.
Kemudian coba kita soroti frasa 'secara paksa' dalam
definisi tersebut. Frasa yang jika tidak dipikirkan lagi, maka akan lewat
begitu saja. Jelas terlihat, bahwa yang dimaksud kekerasan seksual pada RUU ini
hanya perbuatan seksual yang dilakukan secara paksa (sexual consent/seks
dengan persetujuan). Padahal, tindakan seksual yang tidak dilakukan secara
paksalah yang merajalela dan menyebabkan maksiat serta zina mulai menjadi
kebiasaan amoral.
Bayangkan jika sepasang kekasih
yang belum sah melakukan hubungan seksual, maka bagi RUU P-KS itu sah-sah saja
selama kedua belah pihak saling suka dan setuju. Padahal dalam islam sudah
jelas melarang mendekati zina, tetapi perbuatan tersebut jelas melampaui batas
dan tidak akan dikenai UU P-KS nantinya.
Oleh sebab itu kaum kontra RUU P-KS memberikan solusi agar
nama Kekerasan Seksual diganti Kejahatan Seksual. Makna kejahatan jauh lebih
luas dan tegas. Dimana dalam kejahatan entah disertai kekerasan (secara
paksa) maupun tidak tetaplah dianggap kejahatan.
Sayangnya lagi, hingga detik ini, para perancang RUU
P-KS tidak ingin merubah frasa kekerasan menjadi kejahatan. Sebuah pertanyaan
besar, kenapa? Rupanya diduga RUU ini telah mendukung kaum feminis yang selalu
menganggap my body is mine, kaum yang menolak diatur seksualitasnya oleh siapa
pun karena merasa tubuhnya miliknya. Mereka ingin melakukan seks
sebebas-bebasnya selama tak dipaksa, termasuk bila dilakukan sesama jenis, tak
peduli bertentangan dengan agama (haram) atau tidak. Mereka lupa, diri kita
milik Sang Pencipta, ada syariat yang diturunkanNya untuk mengatur kebaikaan
kita sendiri.
Selain definisi, jenis-jenis kekerasan seksual dalam pasal
11 juga menuai kontroversi. Lagi-lagi perancang UU ini menulis frasa
'pemaksaan'. Pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran.
Dalam benak kaum intelek tidakkah muncul pertanyaan, kalau tidak dipaksa,
bagaimana?
Aborsi bukanlah perbuatan terpuji apa pun alasannya.
Menghabisi nyawa janin yang tidak berdosa itu tentu dosa. Pelacuran pun
demikian. Jika negara ini mengesahkan RUU P-KS maka bisa dipastikan pekerjaan
sebagai pelacur akan dihalalkan selama orang tidak dipaksa. Sungguh
miris.
Teman-teman, bukalah matamu! Negara tercinta ini akan jadi
negara maksiat jika RUU P-KS disahkan. Definisinya saja sudah meresahkan dan
menyimpan kejahatan. Karena perlu kita ingat, kedudukan definisi dalam sebuah
UU itu sangatlah sakral! Sesakral itulah RUU P-KS ingin menghancurkan
nilai-nilai agama dan moral bangsa kita.
Paparan di atas hanya jejak kecil yang penulis rangkum
sesingkatnya untuk pembaca. Masih banyak kritik terhadap RUU P-KS yng merugikan
kehidupan bangsa Indonesia kedepannya sehingga layak digagalkan.
_______________
Setelah menyimak ulasan di atas, maka kita sampai pada
kesimpulan bahwa IWD memiliki ikatan yang erat dengan kaum feminis dan LGBT.
Jelas feminis dan LGBT telah berusaha menyalahi fitrah sebagai manusia,
menentang kodrat hingga melampaui batas dengan melakukan transgender, kebebasan
seksual, serta penyimpangan-penyimpangan seksual lainnya. Sementara nafas RUU
P-KS benar-benar berangkat dari apa yang tengah diperjuangkan kaum feminis dan
LGBT. Jadi? Masihkan layak kita merayakan IWD dan mendukung RUU P-KS, saat itu
berarti kita ikut menyumbang suara untuk mendukung hadirnya bencana kebebasan
seksual di negeri ini.
#gagalkanruup-ks
#ruup-ksbukansolusi
#indonesiatanpafeminis
Entahlah, sudah beberapa kali dibaca tetapi tetap LUAR BIASA...jangan lengah kita kawal sampai tuntas!
BalasHapus